Rabu, 16 Desember 2015

SEJARAH SINGKAT DESA WIDARASARI




KATA PENGANTAR
Diawali dengan mengucap bismillah hirrahman nirrohiim dan memohon petunjuk, taufiq,hidayah dan inayah dari sang pencipta alam semesta yaitu Allah SWT. Saya pada tahun 1970 mendapat amanat dari Almarhum Bapak KH. Sulaiman selaku sesepuh Desa.
Supaya saya dapat dan mampu memelihara sejarah desa dengan maksud supaya generasi muda sekarang (anak cucu) dapat mengingat sejarahnya sendiri bagaimana perjuangan nenek moyangnya dahulu demi kepentingan anak cucunya dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat.
Untuk itu saya sadar dalam menyusun sejarah Desa Widarasari ini masih banyak kekurangan dan masih banyak memerlukan berbagai masukan dari berbagai pihak diantaranya dari :

1.    Bapak Suradikerta (Endun)
2.    Bapak Kyai Zubaedi

Kedua tokoh ini memberikan penjelasan secara lisan saja dan akhirnya saya mendapat data tertulis yang ditulis dengan tulisan sunda kuno dari Bapak H. Abbas, akan tetapi catatan itu pun masih terdapat kekurangan-kekurangan oleh karena itu saya masih merasa memerlukan masukan dan bantuan dari berbagai pihak yang mengetahui atau mempunyai data-data mengenai sejarah Desa Widarasari untuk dapat menyempurnakan sejarah ini.
Akhirnya semoga tulisan ini ada manfaatnya untuk generasi muda penerus perjuangan Desa Widarasari dan masyarakat luas pada umumnya. Selanjutnya tak lupa saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam mendukung dan membantu saya dalam menyusun Sejarah Desa Widarasari ini semoga Allah SWT. Melimpahkan rahmat dan ridhonya kepada kita semua, Amiin.


                           Widarasari,                   2010



                                                 Ttd

                           H. Muhammad Syamsuddin


I.      Perkembangan Islam di Pulau Jawa

Perkembangan Islam di pulau jawa cukup pesat dengan adanya para Wali sebagai penyebar agama Islam, dengan cepat penduduk jawa banyak yang sudah masuk agama islam. Berbagai cara dakwah dilaksanakan oleh para Walisongo ( Wali Sembilan) dengan cara masing-masing keahlian para Wali, diantaranya ada yang dakwahnya menggunakan media seni sebagai alat untuk mendekati penduduk setempat.
Seperti dilakukan oleh Sunan Kalijaga beliau menggunakan Wayang sebagai media dakwahnya karena pada waktu itu penduduk setempat sangat menyukai seni Wayang Cepak oleh Sunan Kalijaga dirubah menjadi Wayang Kulit dan Wayang Golek seni wayang ini setelah Sunan Kalijaga wafat juga masih terus hingga sekarang masih ada sebagai seni masyarakat Jawa, penduduk setempat tidak merasa terganggu dengan syiar para Wali melainkan mereka banyak yang akhirnya mengikuti ajakan atau syiar para Wali untuk ,memeluk agama Islam.

II.    Islam di Kota Cirebon

Perkembangan Islam di daerah Cirebon tak lepas dari hasil perjuangan para Walisongo dimana Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) beserta para sahabat dan pengikutnya yang sudah memeluk agama Islam berjuang menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya.

              III. Islam Masuk di Kuningan Pada Tahun 1498 Masehi

Penyebaran Islam ke wilayah sekitar Cirebon juga akhirnya sampai ke wilayah Kadipaten Kajene dengan adanya di Kadipaten Kajeneterjadi penyerahan kekuasaan (pimpinan) Pemerintahan dari Adipati Prabu Guru Gantangan ( Ki Gedeng Susunan Pajengan) kepada putranya yang bernama Prabu Brata Wijaya (Arya Kamuning) pada waktu itu Kadipaten Kajene sudah menjadi wilayah Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan Simuhun Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) pada waktu itu terjadi perubahan besar yaitu pada tanggal 1 September 1498 yaitu :

1.   Diangkat dan dilantiknya Prabu Brata Wijaya (Arya Kamuning menjadi Adipati.
2.   Nama Kadipaten Kajene berubah menjadi Kadipaten Kuningan
3.   Adipati Brata Wijaya (Arya Kamuning) masuk Islam.

Setiap tanggal 1 September 1498 pertama disebut hari jadi Kadipaten Kuningan hingga sekarang tiap tahun pada tanggal 1 September diperingati acara resmi yaitu Hari Jadi Kuningan.
Dari tahun ke tahun di Kadipaten Kuningan semakin bertambah baik dari aparat maupun warga masyarakat yang masuk agama Islam atas dasar kesadaran yang timbul dari hati nurani murni, hakekatnya futuh (terbuka fikiran) dari Allah.SWT.
Hari demi hari terus menerus lewat minggu datang bulan dan tahun pun terus berganti begitulah perubahan seluruh mahluk Allah. SWT secara luas.  Begitu pula yang namanya manusia baik manusia biasa maupun yang menjadi para pemimpin Kerajaan maupun Kesultanan.
Kalau hilang nenek moyang pendahulunya maka datang pula generasi penerusnya untuk melanjutkan cita-cita mulya perjuangan terutama bidang pengembangan agama Islam.
Dijaman pemerintahan Kesultanan berikutnya melakukan pengembangan agama dengan cara mengirim utusan-utusan ke tempat yang diperlukan seperti ke pelosok daerah-daerah terpencil untuk pengembangan agama Islam, akan tetapi ada utusan-utusan tersebut melaksanakannya dengan keikhlasan semata hanya demi perjuangan menyebarkan agama Islam, diantara utusan-utusan tersebut yaitu :

1.   Raden Surabraja
2.   Raden Brajasura
3.   Raden Kutanegara

Utusan-utusan ini di kirim oleh Sunan Gunung Jati beserta murid-muridnya (santri) untuk mencari lokasi yang tepat untuk digunakan tempat tinggal sebagai tempat tinggal baru bagi mereka, setelah berhari-hari melakukan perjalanan maka para utusan ini menemukan sebuah hutan yang ditengahnya ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cisadane disebelah selatan ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cijeler dan desebelah utara ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cilengkrang.

Adapun pertama tempat yang digunakan untuk mendirikan moshola yaitu yang sekarang disebut blok pesantren di pinggiran sungai dan masih ada tanda sumur Cipedes yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari tempat inilah yang menjadi tempat tinggal tetap hingga turun temurun.

Kegiatan sehari-hari selama mengajar dan bekerja dengan para santri membuka lahan pertanian guna kepentingan hidup bersama, dari tahun ke tahun para utusan ini akhirnya menetap di daerah ini sampai akhirnya membentuk suatu perkampungan penduduk dan semakin lama semakin bertambah jumlah penduduk sehingga pada suatu waktu sudah mencapai 17 kepala keluarga, maka timbul pertimbangan dari Kadipaten Kuningan selayaknya dikampung tersebut dibentuk pengurus kampung.

Maka akhirnya atas kesepakatan warga kampung tersebut dengan restu pemerintah Kadipaten Kuningan, diangkatlah salah seorang putra Raden Surabraja (Eyang Surabraja) yaitu Raden Surajaya Saputra dengan nama jabatan Bewu, Bewu merupakan singkatan dari Lebe dan Kuwu. Beliaulah selaku Kepala Pemerintahan dan Juga selaku Pemimpin Agama untuk urusan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) dan lain-lain dan perkampungan itu diberi nama Kampung Cipedes atau Desa Cipedes.

Raden Surajaya Saputra selain selaku pemimpin warga juga selaku guru di pondok pesantren dari sekian banyak santrinya ada seorang santri yang menonjol dia cerdas dan ahli bicara apabila sedang dakwah dan paling digemari oleh pendengarnya nama santri itu adalah Raden Surawanggana, dia berasal dari daerah Banten. Atas dasar keahliannya di bidang dakwah itu oleh Raden Surajaya Saputra gurunya diberi julukan atau gelar Tirta Sarabadan sehingga nama lengkapnya Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dan kemudian oleh Raden Surajaya Saputra di angkat sebagai menantu. Jelasnya bahwa Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dinikahkan kepada adik kandungnya Raden Surajaya Saputra.

Waktu terus berjalan tanpa ada hentinya begitu pula perkembangan manusia dari yang masih kecil menjadi besar dari yang anak-anak berubah menjadi remaja berubah menjadi dewasa dan menjadi tua. Begitu pula yang dialami oleh Raden Surajaya Saputra seiringnya waktu sekarang Raden Surajaya Saputra semakin tua dan sudah waktunya untuk lengser dari jabatanya selaku Bewu. Tetapi karena putranya yang berhak menerima warisan jabatan dan melanjutkan jabatan ayahandanya yaitu yang bernama Raden Akmarsura Jaya Putra belum dewasa, maka untuk sementara jabatan Bewu tersebut dijabat oileh menantunya yaitu Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dengan nama Jabatan yang berubah dari Bewu menjadi Ngabeui adapun tugasnya sama dengan Bewu yaitu melaksanakan tugas dibidang pemerintahan dan urusan agama secara keseluruhan.

Waktu terus berjalan hingga sampai pada masa datangnya penjajahan dari Negara asing yaitu datangnya penjajah Belanda pada jaman penjajahan Belanda ada banyak perubahan pada sistem kepemerintahan salah satunya nama jabatan Adipati berubah menajdi Kanjeng Dalem atau Bupati, maka pada usia Raden Akmarsura Jaya Putra dewasa sedangkan Raden Surawanggana Tirta Sarabadan sudah semakin tua maka jabatan Ngabeui diserahkan kembali kepada Raden Akmarsura Jaya Saputra dengan persetujuan Bupati, maka oleh Bupati (Kanjeng Dalem) beliau diangkat menjadi Kuwu. Ada perubahan nama jabatan dari Ngabeui menjadi Kuwu.

Pada jaman Raden Akmarsura Jaya Saputra jadi Kuwu karena warga desa Cipedes sudah banyak bertambah banyak maka sudah tidak mungkin lagi bisa dilayani oleh seorang Kuwu saja, maka diangkatlah 3 tenaga pembantu Kuwu yaitu : 1. Juru Tulis tugasnya adalah mengurusi Bidang Administrasi; 2. Lebe atau Ketib yang mengurusi Bidang Keagamaan dan 3. Tua Kampung (Kepala Kampung) tugasnya adalah mengurusi Bidang Kemasyarakatan, maka aparat Desa Cipedes menjadi 4 termasuk Kuwu.

Masa kepemimpinan Raden Akmarsura Jaya Saputra berjalan bertahun-tahun sehingga akhirnya beliau tua, setelah sepuh Raden Akmarsura Jaya Saputra merasa perlu adanya yang meneruskan kepemimpinan, maka pada masa Raden Akmasura Jaya Saputra untuk pertama kalinya diadakan pemilihan Kuwu walaupun pemilihan kuwu dalakukan dengan cara yang masih sederhana sesuai kesepakatan bersama, maka terpilihlah seseorang yang bernama Udras. Dengan terpilihnya Udras maka Jabatan Kuwu sekarang dipegang oleh Bapak Kuwu Udras.

Pada masa kepemimpinan Bapak Kuwu Udras selama menjabat banyak melakukan perubahan pada struktur kepemerintahan di desa diantaranya perubahan pertama menambah tenaga aparat desa yang sebelumnya hanya 4 orang oleh Bapak Kuwu Udras ditambah 1 orang lagi diangkat wakil Kuwu (Ngabihi) dan jabatan lainnya membentuk Kepala Kampung dari masing-masing kampung yaitu :

1.   Kepala Kampung Manis
2.   Kepala Kampung Pahing
3.   Kepala Kampung Puhun
4.   Kepala Kampung Wage

Perubahan kedua adalah menertibkan lahan pertanian yang sebelumnya lahan pertanian itu digarap bersama digunakan untuk kepentingan bersama, oleh Kuwu Udras dijadikan kavling-kavling untuk dijadikan milik Pemerintah Desa dan milik pribadi masing-masing masyarakat, adapun pembagiannya sebagai berikut :

1.   Upah aparat pemerintahan desa dan ada yang disebut tanah titisara digunakan untuk biaya desa.

2.   Selebihnya dibagikan kepada masyarakat sebagai hak garap bukan hak milik yaitu yang disebut tanah kasikepan, pada waktu itu masyarakat jadi dua golongan yaitu Sikep dan Kuren.

Sikep adalah warga yang dibebani kewajiban-kewajiban kepada desa bila diperlukan baik iuran harta atau tenaga (puraga desa).
Kuren adalah kelompok masyarakat yang tidak dibebani kewajiban apapun.

                       I.       Perubahan Nama Desa
Setelah Bapak Kuwu Udras berusia lanjut dan menyerahkan jabatannya sebagai Kuwu Desa Cipedes kemudian setelah itu diadakanlah pemilihan Kuwu baru yang akan menggantikan Kuwu Udras yang telah berakhir masa jabatannya karena usia beliau sudah tidak memungkinkan lagi untuk memimpin desa. Pemilihan Kuwu Desa Cipedes pada jaman itu masih menggunakan cara yang sangat sederahana, setelah selesai pemilihan akhirnya terpilihlah Bapak Arjadinata (Masdaer) dengan memenangkan pemilihan langsung tersebut sehingga Bapak Arjadinata (Masdaer) berhak memimpin Desa Cipedes.
Pada masa kepemimpinannya Bapak Kuwu Arjadinata (Masdaer) ada beberapa perubahan diantaranya yaitu :

1.   Menambah tenaga aparatur pemerintahan desa yaitu dengan mengangkat 2 (dua) orang Pamong Desa dengan jabatan yaitu :
-     Raksa Bumi
-     Polisi Desa

2.   Merubah nama Desa yang semula Desa Cipedes diganti menjadi Desa Cikubangsari.
Pada tahun 1940 M Masa jabatan Bapak Kuwu Arjadinata berakhir karena usia yang sudah tua dan menyerahkan jabatannya selaku Kuwu Desa Cikubangsari, maka kemudian di Desa Cikubangsari diadakan pemilihan kuwu pada waktu itu diikuti oleh 3 (tiga) calon kuwu, salah satu calonnya adalah Ngabihi yang bernama Bapak Jayasantana mencalonkan diri sebagai calon Kuwu yang baru hasil pemilihan kuwu di Desa Cikubangsari pada waktu itu yang jadi pemenangnya adalah Bapak Jayasantana yang semula jadi Ngabihi. Dan berhak menjalankan roda pemerintahan dibawah kepemimpinannya.
Pada masa kepemimpinan Bapak Kuwu Jayasantana yang menjabat menjadi Kuwu Desa Cikubangsari bertepatan dengan terjadinya Perang Dunia ke II dan waktu itu akhirnya pemerintahan Hindia Belanda juga dapat diusir dari Negara Indonesia namun setelah Balanda pergi, Negara kita masih belum terbebas dari penjajah karena Jepang yang sekarang menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun Negara Jepang menjajah Indonesia. Pada waktu itu Negara Jepang mendapatkan balasan dari perang dunia ke II dari Negara Amerika Serikat dengan menjatuhkan Bom Atom di Kota Hirosima dan Kota Nagasaki Jepang dalam akeadaan Jepang sedang lemah oleh para pemimpin Bangsa Indonesia dimanfaatkan yang diwakitli oleh Soekarno dan Bung Hatta untuk segera pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Indonesa.
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke II oleh sekutu Amerika dan Inggris ternyata sekutu bermaksud juga menjajah Bangsa Indonesia yang dibelakangnya ada Belanda yang tidak rela Negara Indonesia lepas begitu saja dari genggamannya. Namun Bangsa Indoensia tidak rela apabila kemerdekaan yang kita raih akan terlepas kembali ke tangan Bangsa Belanda dimana pada waktu itu Belanda ikut membonceng pada sekutu yang masuk ke Indonesia dengan tujuan untuk kembali menjajah Bangsa dan Negara Indonesia, tapi Bangsa Indonesia pada waktu itu bersatu bersama-sama para pemimpin dan rakyat Indonesia mempertahankan Kemerdekaan yang sudah kita raih dengan keringat, darah bahkan nyawa untuk menebus Kemerdekaan yang kita raih dengan perjuangan di meja perundingan dan tentara di medan peperangan para pemimpin desa beserta rakyatnya turut berjuang di garis belakang dengan menyediakan perbekalan yang diperlukan untuk kepentingan yang berjuang digaris depan.
Dentuman bom, meriam dan peluru-peluru dengan senjata yang jauh lebih canggih dari pihak penjajah oleh para pejuang bangsa Indonesia tidak ditakuti, pengorbanan harta, jiwa dan raga semuanya dipersembahkan demi tercapainya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia yang penuh keridhoan dari Allah S.W.T. dan kegigihan para pejuang yang berjuang di meja perundingan dengan jalur diplomasi.
Dari tahun 1940 M selama masa kepemimpinan Bapak Kuwu Jaya Santana penuh dengan penderitaan karena masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan negara lain serta setelah masa kemerdekaan muncullah pemberontakan-pemberontakan diantaranya masa DI/TII dan PKI, bertahun-tahun negara kita setelah merdeka belum juga bisa tenang bahkan kehidupan rakyat desa pun tidak tenang, tidur tidak nyenyak diwaktu malam hari memilih tempat di saung-saung sawah, tempat kebun-kebun pinggiran sungai yang sekiranya aman dari segala gangguan ini dilakukan oleh masyarakat umum, karena tidak sedikit anggota masyarakat desa yang ditangkap oleh para pemberontak dibawa kegunung… BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar