Dimulai dari "IDEA" sederhana kini menjadi embrio "desa wisata". dulu ketika sang PIONEER (SMAN 5 DEPOK) mengunjungi desa kami sebagai kunjungan perdana dengan situasi masyarakat yang sulit menerima hal-hal yang baru, dan kini seluruh warga masyarakat dan juga pihak pemerintah yang selalu menerima dengan penuh ramah tamah serta selalu merindukan kedatangan para siswa yang selalu berganti-ganti.
Arsip Blog
Sabtu, 19 Desember 2015
Rabu, 16 Desember 2015
SEJARAH SINGKAT DESA WIDARASARI
|
|
KATA PENGANTAR
Diawali dengan mengucap bismillah hirrahman nirrohiim dan memohon petunjuk,
taufiq,hidayah dan inayah dari sang
pencipta alam semesta yaitu Allah SWT. Saya pada tahun 1970 mendapat amanat
dari Almarhum Bapak KH. Sulaiman selaku sesepuh Desa.
Supaya saya dapat dan mampu memelihara sejarah desa
dengan maksud supaya generasi muda sekarang (anak cucu) dapat mengingat
sejarahnya sendiri bagaimana perjuangan nenek moyangnya dahulu demi kepentingan
anak cucunya dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat.
Untuk itu saya sadar dalam menyusun sejarah Desa
Widarasari ini masih banyak kekurangan dan masih banyak memerlukan berbagai
masukan dari berbagai pihak diantaranya dari :
1. Bapak
Suradikerta (Endun)
2. Bapak
Kyai Zubaedi
Kedua tokoh ini memberikan penjelasan secara lisan saja
dan akhirnya saya mendapat data tertulis yang ditulis dengan tulisan sunda kuno
dari Bapak H. Abbas, akan tetapi catatan itu pun masih terdapat kekurangan-kekurangan
oleh karena itu saya masih merasa memerlukan masukan dan bantuan dari berbagai
pihak yang mengetahui atau mempunyai data-data mengenai sejarah Desa Widarasari
untuk dapat menyempurnakan sejarah ini.
Akhirnya semoga tulisan ini ada manfaatnya untuk generasi
muda penerus perjuangan Desa Widarasari dan masyarakat luas pada umumnya.
Selanjutnya tak lupa saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah ikut serta dalam mendukung dan membantu saya dalam
menyusun Sejarah Desa Widarasari ini semoga Allah SWT. Melimpahkan rahmat dan
ridhonya kepada kita semua, Amiin.
Widarasari, 2010
Ttd
H. Muhammad Syamsuddin
I.
Perkembangan
Islam di Pulau Jawa
Perkembangan Islam di pulau jawa cukup
pesat dengan adanya para Wali
sebagai penyebar agama Islam, dengan cepat penduduk jawa banyak yang sudah
masuk agama islam. Berbagai cara dakwah dilaksanakan oleh para Walisongo ( Wali
Sembilan) dengan cara masing-masing keahlian para Wali, diantaranya ada yang
dakwahnya menggunakan media seni sebagai alat untuk mendekati penduduk
setempat.
Seperti dilakukan oleh Sunan Kalijaga
beliau menggunakan Wayang sebagai media dakwahnya karena pada waktu itu
penduduk setempat sangat menyukai seni Wayang Cepak oleh Sunan Kalijaga dirubah
menjadi Wayang Kulit dan Wayang Golek seni wayang ini setelah Sunan Kalijaga
wafat juga masih terus hingga sekarang masih ada sebagai seni masyarakat Jawa,
penduduk setempat tidak merasa terganggu dengan syiar para Wali melainkan mereka banyak
yang akhirnya mengikuti ajakan atau
syiar para Wali untuk ,memeluk agama Islam.
II.
Islam
di Kota Cirebon
Perkembangan
Islam di daerah Cirebon tak lepas dari hasil perjuangan para Walisongo dimana
Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) beserta para sahabat dan
pengikutnya yang sudah memeluk agama Islam berjuang menyebarkan agama Islam di
daerah Cirebon dan sekitarnya.
III. Islam Masuk di Kuningan Pada
Tahun 1498 Masehi
Penyebaran
Islam ke wilayah sekitar Cirebon juga akhirnya sampai ke wilayah Kadipaten
Kajene dengan adanya di Kadipaten Kajeneterjadi penyerahan kekuasaan (pimpinan)
Pemerintahan dari Adipati Prabu Guru Gantangan ( Ki Gedeng Susunan Pajengan)
kepada putranya yang bernama Prabu Brata Wijaya (Arya Kamuning) pada waktu itu
Kadipaten Kajene sudah menjadi wilayah Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan Kesultanan
Cirebon dibawah pimpinan Simuhun Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) pada waktu
itu terjadi perubahan besar yaitu pada tanggal 1 September 1498 yaitu :
1. Diangkat
dan dilantiknya Prabu Brata Wijaya (Arya Kamuning menjadi Adipati.
2. Nama
Kadipaten Kajene berubah menjadi Kadipaten Kuningan
3. Adipati
Brata Wijaya (Arya Kamuning) masuk Islam.
Setiap tanggal 1 September 1498 pertama
disebut hari jadi Kadipaten Kuningan hingga sekarang tiap tahun pada tanggal 1
September diperingati acara resmi yaitu Hari Jadi Kuningan.
Dari tahun ke tahun di Kadipaten Kuningan semakin
bertambah baik dari aparat maupun warga masyarakat yang masuk agama Islam atas
dasar kesadaran yang timbul dari hati nurani murni, hakekatnya futuh (terbuka fikiran)
dari Allah.SWT.
Hari demi hari terus menerus lewat
minggu datang bulan dan tahun pun terus berganti begitulah perubahan seluruh
mahluk Allah. SWT secara luas. Begitu
pula yang namanya manusia baik manusia biasa maupun yang menjadi para pemimpin
Kerajaan maupun Kesultanan.
Kalau hilang nenek moyang pendahulunya
maka datang pula generasi penerusnya untuk melanjutkan cita-cita mulya
perjuangan terutama bidang pengembangan
agama Islam.
Dijaman pemerintahan Kesultanan
berikutnya melakukan pengembangan agama dengan cara mengirim utusan-utusan ke
tempat yang diperlukan seperti ke pelosok daerah-daerah terpencil untuk
pengembangan agama Islam, akan tetapi ada utusan-utusan tersebut
melaksanakannya dengan keikhlasan semata hanya demi perjuangan menyebarkan
agama Islam, diantara utusan-utusan tersebut yaitu :
1. Raden
Surabraja
2. Raden
Brajasura
3. Raden
Kutanegara
Utusan-utusan ini di kirim oleh Sunan
Gunung Jati beserta murid-muridnya (santri) untuk mencari lokasi yang tepat
untuk digunakan tempat tinggal sebagai tempat tinggal baru bagi mereka, setelah
berhari-hari melakukan perjalanan maka para utusan ini menemukan sebuah hutan
yang ditengahnya ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cisadane
disebelah selatan ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cijeler dan
desebelah utara ada aliran sungai yang sekarang disebut sungai Cilengkrang.
Adapun pertama tempat yang digunakan
untuk mendirikan moshola yaitu yang sekarang disebut blok pesantren di
pinggiran sungai dan masih ada tanda sumur Cipedes yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari tempat inilah yang menjadi tempat tinggal tetap hingga
turun temurun.
Kegiatan sehari-hari selama mengajar dan
bekerja dengan para santri membuka lahan pertanian guna kepentingan hidup
bersama, dari tahun ke tahun para utusan ini akhirnya menetap di daerah ini
sampai akhirnya membentuk suatu perkampungan penduduk dan semakin lama semakin
bertambah jumlah penduduk sehingga pada suatu waktu sudah mencapai 17 kepala
keluarga, maka timbul pertimbangan dari Kadipaten Kuningan selayaknya dikampung
tersebut dibentuk pengurus kampung.
Maka akhirnya atas kesepakatan warga kampung
tersebut dengan restu pemerintah Kadipaten Kuningan, diangkatlah salah seorang
putra Raden Surabraja (Eyang Surabraja) yaitu Raden Surajaya Saputra dengan
nama jabatan Bewu, Bewu merupakan singkatan dari Lebe dan Kuwu. Beliaulah selaku
Kepala Pemerintahan dan Juga selaku Pemimpin Agama untuk urusan Nikah, Talak,
Cerai dan Rujuk (NTCR) dan lain-lain dan perkampungan itu diberi nama Kampung
Cipedes atau Desa Cipedes.
Raden Surajaya Saputra selain selaku
pemimpin warga juga selaku guru di pondok pesantren dari sekian banyak
santrinya ada seorang santri yang menonjol dia cerdas dan ahli bicara apabila
sedang dakwah dan paling digemari oleh pendengarnya nama santri itu adalah
Raden Surawanggana, dia berasal dari daerah Banten. Atas dasar keahliannya di bidang dakwah itu oleh Raden
Surajaya Saputra gurunya diberi julukan atau gelar Tirta Sarabadan sehingga
nama lengkapnya Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dan kemudian oleh Raden
Surajaya Saputra di angkat sebagai menantu.
Jelasnya bahwa Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dinikahkan kepada adik
kandungnya Raden Surajaya Saputra.
Waktu terus berjalan tanpa ada hentinya
begitu pula perkembangan manusia dari yang masih kecil menjadi besar dari yang
anak-anak berubah menjadi remaja berubah menjadi dewasa dan menjadi tua. Begitu
pula yang dialami oleh Raden Surajaya Saputra seiringnya waktu sekarang Raden
Surajaya Saputra semakin tua dan sudah waktunya untuk lengser dari jabatanya
selaku Bewu. Tetapi karena putranya yang berhak menerima warisan jabatan dan
melanjutkan jabatan ayahandanya yaitu yang bernama Raden Akmarsura Jaya Putra
belum dewasa, maka untuk sementara jabatan Bewu tersebut dijabat oileh
menantunya yaitu Raden Surawanggana Tirta Sarabadan dengan nama Jabatan yang berubah
dari Bewu menjadi Ngabeui adapun tugasnya sama dengan Bewu yaitu melaksanakan
tugas dibidang pemerintahan dan urusan agama secara keseluruhan.
Waktu terus berjalan hingga sampai pada
masa datangnya penjajahan dari Negara asing yaitu datangnya penjajah Belanda
pada jaman penjajahan Belanda ada banyak perubahan pada sistem kepemerintahan
salah satunya nama jabatan Adipati berubah menajdi Kanjeng Dalem atau Bupati,
maka pada usia Raden Akmarsura Jaya Putra dewasa sedangkan Raden Surawanggana
Tirta Sarabadan sudah semakin tua maka jabatan Ngabeui diserahkan kembali
kepada Raden Akmarsura Jaya Saputra dengan persetujuan Bupati, maka oleh Bupati
(Kanjeng Dalem) beliau diangkat menjadi Kuwu. Ada perubahan nama jabatan dari
Ngabeui menjadi Kuwu.
Pada jaman Raden Akmarsura Jaya Saputra
jadi Kuwu karena warga desa Cipedes sudah banyak bertambah banyak maka sudah
tidak mungkin lagi bisa dilayani oleh seorang Kuwu saja, maka diangkatlah 3
tenaga pembantu Kuwu yaitu : 1. Juru Tulis tugasnya adalah mengurusi Bidang
Administrasi; 2. Lebe atau Ketib yang mengurusi Bidang Keagamaan dan 3. Tua
Kampung (Kepala Kampung) tugasnya adalah mengurusi Bidang Kemasyarakatan, maka
aparat Desa Cipedes menjadi 4 termasuk Kuwu.
Masa kepemimpinan Raden Akmarsura Jaya
Saputra berjalan bertahun-tahun sehingga akhirnya beliau tua, setelah sepuh
Raden Akmarsura Jaya Saputra merasa perlu adanya yang meneruskan kepemimpinan,
maka pada masa Raden Akmasura Jaya Saputra untuk pertama kalinya diadakan
pemilihan Kuwu walaupun pemilihan kuwu dalakukan dengan cara yang masih
sederhana sesuai kesepakatan bersama, maka terpilihlah seseorang yang bernama
Udras. Dengan terpilihnya Udras maka Jabatan Kuwu sekarang dipegang oleh Bapak Kuwu Udras.
Pada masa kepemimpinan Bapak Kuwu Udras
selama menjabat banyak melakukan perubahan pada struktur kepemerintahan di desa
diantaranya perubahan pertama menambah tenaga aparat desa yang sebelumnya hanya
4 orang oleh Bapak Kuwu Udras ditambah 1 orang lagi diangkat wakil Kuwu
(Ngabihi) dan jabatan lainnya membentuk Kepala Kampung dari masing-masing kampung
yaitu :
1. Kepala
Kampung Manis
2. Kepala
Kampung Pahing
3. Kepala
Kampung Puhun
4. Kepala
Kampung Wage
Perubahan kedua adalah menertibkan lahan
pertanian yang sebelumnya lahan pertanian itu digarap bersama digunakan untuk
kepentingan bersama, oleh Kuwu Udras dijadikan kavling-kavling untuk dijadikan
milik Pemerintah Desa dan milik pribadi masing-masing masyarakat, adapun
pembagiannya sebagai berikut :
1. Upah
aparat pemerintahan desa dan ada yang disebut tanah titisara digunakan untuk
biaya desa.
2. Selebihnya
dibagikan kepada masyarakat sebagai hak garap bukan hak milik yaitu yang
disebut tanah kasikepan, pada waktu itu masyarakat jadi dua golongan yaitu
Sikep dan Kuren.
Sikep
adalah warga yang dibebani kewajiban-kewajiban kepada desa bila diperlukan baik
iuran harta atau tenaga (puraga desa).
Kuren
adalah kelompok masyarakat yang tidak dibebani kewajiban apapun.
I.
Perubahan
Nama Desa
Setelah
Bapak Kuwu Udras berusia lanjut dan menyerahkan jabatannya sebagai Kuwu Desa
Cipedes kemudian setelah itu diadakanlah pemilihan Kuwu baru yang akan
menggantikan Kuwu Udras yang telah berakhir masa jabatannya karena usia beliau
sudah tidak memungkinkan lagi untuk memimpin desa. Pemilihan Kuwu Desa Cipedes
pada jaman itu masih menggunakan cara yang sangat sederahana, setelah selesai
pemilihan akhirnya terpilihlah Bapak Arjadinata (Masdaer) dengan memenangkan
pemilihan langsung tersebut sehingga Bapak Arjadinata (Masdaer) berhak memimpin
Desa Cipedes.
Pada
masa kepemimpinannya Bapak Kuwu Arjadinata (Masdaer) ada beberapa perubahan
diantaranya yaitu :
1. Menambah
tenaga aparatur pemerintahan desa yaitu dengan mengangkat 2 (dua) orang Pamong
Desa dengan jabatan yaitu :
- Raksa
Bumi
- Polisi
Desa
2. Merubah
nama Desa yang semula Desa Cipedes diganti menjadi Desa Cikubangsari.
Pada tahun 1940 M Masa jabatan Bapak
Kuwu Arjadinata berakhir karena usia yang sudah tua dan menyerahkan jabatannya
selaku Kuwu Desa Cikubangsari, maka kemudian di Desa Cikubangsari diadakan
pemilihan kuwu pada waktu itu diikuti oleh 3
(tiga) calon kuwu, salah satu calonnya adalah Ngabihi yang
bernama Bapak Jayasantana mencalonkan diri sebagai calon Kuwu yang baru hasil
pemilihan kuwu di Desa Cikubangsari pada waktu itu yang jadi pemenangnya adalah
Bapak Jayasantana yang semula jadi Ngabihi. Dan
berhak menjalankan roda pemerintahan dibawah kepemimpinannya.
Pada masa kepemimpinan Bapak Kuwu
Jayasantana yang menjabat menjadi Kuwu Desa Cikubangsari bertepatan dengan
terjadinya Perang Dunia ke II dan waktu itu akhirnya pemerintahan Hindia
Belanda juga dapat diusir dari Negara Indonesia namun setelah Balanda pergi,
Negara kita masih belum terbebas dari penjajah karena Jepang yang sekarang
menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun Negara Jepang menjajah Indonesia.
Pada waktu itu Negara Jepang mendapatkan balasan dari perang dunia ke II dari
Negara Amerika Serikat dengan menjatuhkan Bom Atom di Kota Hirosima dan Kota
Nagasaki Jepang dalam akeadaan Jepang sedang lemah oleh para pemimpin Bangsa
Indonesia dimanfaatkan yang diwakitli oleh Soekarno dan Bung Hatta untuk segera
pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Indonesa.
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia
ke II oleh sekutu Amerika dan Inggris ternyata sekutu bermaksud juga menjajah
Bangsa Indonesia yang dibelakangnya ada Belanda yang tidak rela Negara
Indonesia lepas begitu saja dari genggamannya. Namun Bangsa Indoensia tidak
rela apabila kemerdekaan yang kita raih akan terlepas kembali ke tangan Bangsa
Belanda dimana pada waktu itu Belanda ikut membonceng pada sekutu yang masuk ke
Indonesia dengan tujuan untuk kembali menjajah Bangsa dan Negara Indonesia,
tapi Bangsa Indonesia pada waktu itu bersatu bersama-sama para pemimpin dan
rakyat Indonesia mempertahankan Kemerdekaan yang sudah kita raih dengan
keringat, darah bahkan nyawa untuk menebus Kemerdekaan yang kita raih dengan
perjuangan di meja perundingan dan tentara di medan peperangan para pemimpin
desa beserta rakyatnya turut berjuang di garis belakang dengan menyediakan
perbekalan yang diperlukan untuk kepentingan yang berjuang digaris depan.
Dentuman bom, meriam dan peluru-peluru
dengan senjata yang jauh lebih canggih dari pihak penjajah oleh para pejuang
bangsa Indonesia tidak ditakuti, pengorbanan harta, jiwa dan raga semuanya
dipersembahkan demi tercapainya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia yang
penuh keridhoan dari Allah S.W.T. dan kegigihan para pejuang yang berjuang di
meja perundingan dengan jalur diplomasi.
Dari tahun 1940 M selama masa
kepemimpinan Bapak Kuwu Jaya Santana penuh dengan penderitaan karena masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan negara lain serta setelah
masa kemerdekaan muncullah
pemberontakan-pemberontakan diantaranya masa DI/TII dan PKI, bertahun-tahun
negara kita setelah merdeka belum juga bisa tenang bahkan kehidupan rakyat desa
pun tidak tenang, tidur tidak nyenyak diwaktu malam hari memilih tempat di
saung-saung sawah, tempat kebun-kebun pinggiran sungai yang sekiranya aman dari
segala gangguan ini dilakukan oleh masyarakat umum, karena tidak sedikit
anggota masyarakat desa yang ditangkap oleh para pemberontak dibawa kegunung… BERSAMBUNG
Langganan:
Komentar (Atom)